One Health dan Lingkungan
Dipublikasikan pada 1 Mei 2024
Oleh: Prof. Tjandra Yoga Aditama,
Penasihat Senior Penyakit Menular untuk Australia Indonesia Health Partnership (AIHSP).
Artikel telah dipublikasikan di Harian KOMPAS, 28 Juni 2022.
“One Health”
Dalam perkembangan awal COVID-19, penyakit ini dihubungkan dengan hewan tertentu, pernah disebut peran kelelawar dan juga trenggiling. Dalam perjalanan berikutnya juga pernah dilaporkan penularan pada cerpelai, kucing dll. Karena itu, secara umum memang orang menghubungkan COVID-19 dengan penyakit zoonosis, yang berhubungan dengan hewan. Beberapa tahun yang lalu dunia juga pernah dihebohkan dengan merebaknya flu burung yang ditularkan oleh unggas. Di beberapa tempat di negara kita juga dilaporkan adanya kasus Rabies pada manusia akibat gigitan anjing, juga ada laporan kasus Antraks, serta berbagai contoh penyakit zoonosis lainnya.
Data dunia menunjukkan bahwa 60% patogen penyebab penyakit pada manusia ternyata berhubungan dengan hewan peliharaan atau hewan liar. Kemudian, 75% dari patogen yang baru muncul juga berasal dari hewan. Lalu, 80% patogen dalam kaitan bioterorisme juga berhubungan dengan hewan. Gangguan pada pasokan hewan juga akan dapat mempengaruhi pola makan dan keamanan pangan kita. Diperkirakan akan dibutuhkan lebih dari 70% tambahan protein hewani untuk konsumsi manusia sampai 2050 mendatang.
Karena pentingnya hubungan kesehatan manusia dan kesehatan hewan serta juga lingkungan sehat maka dikenal konsep One Health, yang memang belum ada istilah baku bahasa Indonesianya, mungkin baik diterjemahkan sebagai “Kesehatan, Satu Bersama”. One Health dilaksanakan sebagai pendekatan kolaboratif dalam pelayanan kesehatan manusia, hewan dan lingkungan yang dilaksanakan secara terpadu lintas sektor dan tentu juga bersama masyarakat. Pendekatan One Health yang tadinya banyak dihubungkan dengan pengendalian penyakit zoonosis maka kemudian berkembang ke penanganan penyakit infeksi baru (emerging diseases) dan juga yang muncul kembali (reemerging), serta lalu dikaitkan dengan pengendalian pandemi kini dan di masa datang, dalam bentuk pencegahan, persiapan menghadapi dan respon yang akan dilakukan bila pandemi kembali terjadi kelak, yang dikenal sebagai Pandemic Prevention, Preparedness and Response (PPR). One Health juga mencakup area keamanan pangan, penyakit tropik terabaikan (neglected tropical diseases) dan resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR). Karena luasnya dampak dan cakupan One Health maka tepatlah kalau dikatakan there is no health without One Health.
Mengingat pentingnya penerapan konsep One Health ini maka pada 17 Maret 2022 pimpinan dari empat organisasi dunia, Food and Agriculture (FAO), World Organisation for Animal Health (WOAH), United Nation Environment Programme (UNEP) dan World Health Organization (WHO) menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) yang disebut sebagai era baru kolaborasi One Health. MoU Quadripartite (karena empat organisasi) memberi landasan formal untuk menangani masalah kesehatan masyarakat, hewan, tanaman dan ekosistem secara terkoordinasi dan terintegrasi. Sebagai tindak lanjutnya maka pula sudah disusun Joint Plan of Action di tingkat global.
Sebagai tindak lanjutnya maka akan amat baik kalau kita di Indonesia juga membuat forum multisektoral One Health di tingkat nasional yang bersifat formal, melibatkan berbagai Kementerian terkait, organisasi profesi, akademisi serta pemangku kepentingan terkait lainnya. Kemudian perlu dibuat Rencana Kerja Nasional dan daerah, dan yang paling utama adalah implementasi nyatanya di lapangan. Kerja nyata di lapangan makin lebih diperlukan karena Presidensi G20 Indonesia memasukkan juga One Health sebagai salah satu agendanya, bersama tuberkulosis dan Anti Microbial Resistance (AMR), dan hasilnya sudah dipresentasikan oleh Prof. Tjandra pada Pertemuan Menteri Kesehatan G20 dan juga di depan Direktur Jendral WHO.
Lingkungan
Kita tahu bahwa pentingnya pelestarian lingkungan sehat bukan saja berhubungan dengan konsep One Health di atas. Sejak tahun 1972 PBB sudah menetapkan adanya Hari Lingkungan Hidup Sedunia atau World Environment Day yang diperingati setiap tanggal 5 Juni.
Berbagai perubahan lingkungan global akan mempengaruhi kesehatan manusia, seperti perubahan iklim, penipisan lapisan ozon, degradasi lahan, berkurangnya sumber daya air, perubahan fungsi ekosistem, dan kehilangan keanekaragaman hayati. Perubahan iklim yang dalam arti luas dikenal dengan istilah climate change akan mempengaruhi perubahan cuaca regional/kawasan sampai dalam bentuk cuaca ekstrim, kenaikan temperatur, perubahan pola curah hujan, dan kenaikan muka air laut. Dalam terminologi perubahan iklim komponen ini dikenal dengan bahaya atau hazard perubahan iklim.
Dampak kesehatan yang timbul akibat perubahan iklim dapat mempengaruhi kesehatan manusia dengan dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Dampak langsung yang mempengaruhi kesehatan manusia adalah berupa paparan langsung dari perubahan pola cuaca, baik berupa fluktuasi temperatur, curah hujan, kenaikan muka air laut, serta peningkatan frekuensi cuaca ekstrim. Sementara itu, dampak tidak langsung dapat melalui mekanisme tertentu. Misalnya perubahan iklim mempengaruhi faktor lingkungan seperti perubahan kualitas lingkungan termasuk kualitas air, udara, dan makanan serta perubahan pola hidup vektor penular penyakit. Secara umum disebutkan bahwa peningkatan temperatur 2–3⁰C akan meningkatkan jumlah penderita penyakit tular vektor sebesar 3–5%. Peningkatan temperatur juga akan memperluas distribusi vektor dan meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan parasit menjadi lebih infektif. Sementara itu, perubahan curah hujan bersamaan dengan perubahan temperatur dan kelembaban dapat meningkatkan atau mengurangi kepadatan populasi vektor penyakit serta kontak manusia dengan vektor penyakit. Ekosistem rawa dan mangrove yang berubah juga dapat menyebabkan pola penyebaran vektor penyakit berubah.
Penipisan lapisan ozon di stratosfer dapat meningkatkan risiko terkena kanker kulit, sementara peningkatan temperatur akibat perubahan iklim dapat meningkatkan konsentrasi ozon permukaan yang merupakan salah satu pencemar udara utama yang dapat menyebabkan penyakit pernafasan. Kehilangan keanekaragaman hayati dapat menyebabkan langkanya bahan baku obat dari tumbuhan. Penurunan sumber daya air menyebabkan akses yang terbatas terhadap air bersih dan sanitasi yang sehat dengan berbagai akibatnya. Dari sisi lain, perubahan iklim dapat menimbulkan penyakit/kematian akibat iklim ekstrim, longsor, banjir, badai dan bencana alam lainnya. Lebih jauh lagi dapat saja terjadi malnutrisi akibat terganggunya sumber makanan dan panen.
Khusus tentang polusi udara, WHO menyampaikan bahwa 9 dari 10 orang didunia hidup di lingkungan yang kadar polusi udaranya melebihi ambang batas WHO. Juga disebutkan bahwa di dunia ada 4,2 juta kematian setiap tahun akibat polusi udara luar ruangan dan juga jutaan orang yang meninggal akibat polusi udara dalam ruangan.
Dalam mengendalikan dampak buruk perubahan lingkungan pada kesehatan maka perlu dilakukan kajian kerentanan dan penilaian risiko sektor kesehatan akibat perubahan iklim. Hal ini mencakup kajian, analisis serta penelitian tentang bahaya, kerentanan, dan risiko serta dampak perubahan iklim terhadap kesehatan dan pembentukan model adaptasi untuk kabupaten dan kota terpilih. Juga dapat dibuat kajian hubungan antara perubahan iklim dengan perkembangan penyakit menular melalui vektor, air atau udara, terjadinya bencana dan kecelakaan serta penyakit tidak menular. Data yang perlu dikumpulkan adalah data lingkungan yang mempengaruhi paparan, sensitivitas dan kepekaan dan kapasitas adaptif kesehatan masyarakat dan berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya hazard akibat perubahan iklim. Kemudian dibentuk upaya memperkuat sistem kewaspadaan dini dan tanggap darurat terhadap bencana di masyarakat, baik bencana alam maupun ancaman penyakit menular. Selain itu maka upaya pencegahan perburukan perubahan iklim juga perlu jadi prioritas kita bersama dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pengertian lebih luas maka kita juga mengenal istilah determinasi sosial kesehatan (social determinants of health/SDH), yaitu faktor non medik yang mempengaruhi status kesehatan. Kondisi ini mencakup mulai ketika seseorang lahir, bertumbuh besar, pendidikan, bekerja dan berinteraksi dengan manusia lain, lingkungan sekitar serta sistem yang ada. Ini juga terkait dengan kebijakan ekonomi, pembangunan daerah dan nasional bahkan global, norma sosial dan bahkan perkembangan politik juga. Tegasnya, kesehatan memang tidak dapat berdiri sendiri, banyak faktor yang akan mempengaruhi yang perlu diketahui dan dikuasai untuk meningkatkan derajat kesehatan bangsa.