Vaksinasi COVID-19 Inklusif: Menjangkau Komunitas Adat di Sumba Barat Daya
Dipublikasikan pada 24 Mei 2024
Minggu, 12 Maret 2023. Sebuah tenda sederhana berdiri di sudut lapangan yang terletak di Kampung Adat Ratenggaro, Desa Maliti Bondo Ate, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Kampung ini terletak tepat di tepi Pantai Ratenggaro yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.
Puluhan orang, mulai dari anak hingga lanjut usia, tampak berkumpul di bawah naungan tenda untuk menunggu giliran divaksin COVID-19. Warga yang mengantri tidak hanya berasal dari Kampung Adat Ratenggaro, tetapi juga dari kampung adat lain di sekitarnya.
Kegiatan vaksinasi ini diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan dengan dukungan Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) yang bekerja sama dengan Save the Children di lima provinsi yaitu Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Bali dan NTT.
Di NTT, program vaksinasi inklusif ini bekerja sama dengan CIS Timor untuk menjangkau 35 desa yang tersebar di empat kabupaten, yaitu Sumba Barat Daya, Sabu Raijua, Belu dan Timor Tengah Selatan. Program ini menjangkau secara khusus kelompok lansia, penyandang disabilitas, anggota keluarga pra-sejahtera, dan orang yang tinggal jauh dari layanan kesehatan, kelompok rentan lainnya.
Sejak dimulai pelaksanaannya pada September 2022 hingga Maret 2023, program vaksinasi inklusif ini telah menjangkau lebih dari 9.800 orang di NTT.
Selama ini, kelompok lansia menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses vaksin. Mulai dari jarak yang jauh menuju lokasi vaksinasi, hingga kurangnya stok jenis vaksin yang dibutuhkan. Dalam pelaksanaannya, vaksinasi inklusif memprioritaskan lansia dalam memperoleh layanan sehingga mereka tidak terlalu lama menunggu di tengah kerumunan dan tidak menempatkan mereka dalam posisi yang lebih rentan.
Katrina Delu Kaka (70) dan Paulina Pati Palla (62) adalah adalah dua dari sebelas orang lansia yang dijumpai dalam antrian hari itu. Keduanya merupakan lansia perempuan. Dalam kesempatan tersebut, mereka akhirnya bisa menerima vaksin ketiga setelah menunggu lebih dari satu tahun.
“Saya senang sekali akhirnya bisa mendapat vaksin ketiga,” ungkap Katrina yang diantar oleh anaknya menggunakan sepeda motor dari Desa Waikaninyo.
Paulina hanyalah satu dari sekian banyak lansia yang ada di Nusa Tenggara Timur (NTT). Hingga kini, capaian vaksinasi untuk lansia di NTT masih terbilang cukup rendah. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan, satu dari dua lansia di NTT belum mendapatkan vaksin lengkap. Padahal, lansia merupakan salah satu kelompok rentan penyumbang kematian akibat COVID-19 terbanyak.
Hari itu sebanyak 140 warga akhirnya berhasil tervaksinasi. Dari jumlah tersebut, sembilan warga tercatat baru pertama kali mendapat vaksin meski pandemi sudah berjalan lebih dari tiga tahun. Selama ini petugas kesehatan dari Puskesmas Walla Ndimu sebenarnya sudah berusaha memobilisasi masyarakat untuk mengikuti vaksinasi. Namun, luasnya area jangkauan yang tidak diiringi dengan jumlah vaksinator yang memadai, mengakibatkan kurang maksimalnya capaian.
“Tidak semua warga bisa menjangkau tempat vaksinasi dengan mudah. Kadang mereka harus keluar uang hingga Rp50.000 untuk ongkos ojek agar bisa ke tempat vaksinasi,” ungkap Katharina Surach Bato, Project Officer CIS Timor untuk program percepatan vaksinasi.
Kendala tersebut semakin rumit dengan ketersediaan stok dan jenis vaksin yang terbatas. Kalaupun ada, tanggal kedaluwarsanya sudah dekat.
“Dari sekitar 8.000 sasaran vaksin Puskesmas Walla Ndimu, lebih dari setengahnya belum pernah mendapat vaksin sama sekali. Kegiatan vaksinasi bahkan sempat terhenti sekitar tiga bulan karena ketiadaan stok vaksin,” ungkap Debora Kaka, Kepala Puskesmas Walla Ndimu.
Bagi Debora, kehadiran program percepatan vaksinasi ini sangat membantu Puskesmas dalam menjangkau kelompok-kelompok rentan, termasuk yang tinggal di komunitas adat maupun yang tinggal di daerah terpencil.
“Kami sangat terbantu dengan kerja kolaboratif ini karena mampu mendorong capaian vaksinasi. Akses yang sulit dan staf yang terbatas membuat kami kerap kesulitan menjangkau seluruh masyarakat, termasuk komunitas-komunitas adat. Kami sangat terbantu oleh kemitraan ini karena bisa mendukung kami dalam memobilisasi dan mengajak masyarakat agar mau divaksin,” ucap Debora.
Dalam kesempatan yang sama, Mei Tatengkeng, selaku Provincial Coordinator AIHSP NTT yang turut hadir siang itu menekankan pentingnya mendorong kerja sama berbagi pihak untuk memastikan tercapainya target vaksinasi di NTT. Menurutnya, kerja sama dengan organisasi berbasis masyarakat dan pemerintah setempat memungkinkan keberlanjutan program di masa mendatang.
“Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan atau AIHSP mendukung pemerintah daerah dan mitra di lapangan seperti Save the Children dan CIS Timor dalam mendorong kerja-kerja kolaborasi multipihak berbasis aset masyarakat yang memungkinkan keberlanjutan program. Salah satunya dapat kita lihat dalam kegiatan vaksinasi di Desa Adat Ratenggaro ini,” ungkap Mei.
Di sisi lain, Mei menambahkan pentingnya program untuk memprioritaskan kelompok rentan sebagai kelompok yang masih sering luput dari perhatian publik dan pemerintah secara umum. Hal ini penting, terutama dalam memastikan mereka memperoleh hak atas akses layanan kesehatan sebagaimana masyarakat pada umumnya.
“Lansia dan penyandang disabilitas adalah contoh kelompok masyarakat yang sangat membutuhkan perhatian khusus karena kemampuan mereka mengakses informasi dan layanan sedikit berbeda dari masyarakat pada umumnya. Di NTT, kami melihat semua pihak dapat bekerja sama dengan sangat baik. Kami sangat mengapresiasi kerja keras dari Pemerintah Daerah untuk kemitraan ini,” tukas Mei.
Foto dan tulisan oleh: Thomas Gustafian/Save the Children.
Tonton video berikut ini untuk melihat lebih jauh bagaimana pelaksanaan vaksinasi COVID-19 di Kampung Adat Ratenggaro.