Relawan PMI dan Vaksinasi Selalu Bekerja dengan Hati
Dipublikasikan pada 12 April 2024
Dari setiap relawan Palang Merah Indonesia (PMI) yang kami wawancarai, semua menjawab dengan dua kata yang sama untuk pertanyaan “apa motivasi Anda bergabung dengan organisasi ini? – Panggilan Hati.
Selama satu minggu tim kami membuat dokumentasi kegiatan percepatan vaksinasi yang diselenggarakan oleh lembaga Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (Australia Indonesia Health Security Partnership / AIHSP), bekerja sama dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) di sembilan wilayah kabupaten/kota di Jawa Tengah. Dan dari tempat-tempat yang kami singgahi – Kabupaten Magelang, Kabupaten Pati, Kabupaten Pekalongan, dan Kota Pekalongan—selalu ada sekelompok orang yang mengenakan rompi merah dengan logo simbol “positif ” atau tanda “plus” dalam bingkai lengkung lima seperti kelopak bunga melati.
Ya, PMI – Palang Merah Indonesia – adalah organisasi yang dipilih oleh AIHSP sebagai mitra utama kerja sama tersebut. Tugas utamanya adalah melakukan pendampingan tim pelaksana teknis vaksinasi di lapangan, yang dikoordinir oleh dinkes masing-masing wilayah.
Misi “pendampingan” adalah sesuatu yang sudah lama melekat pada reputasi PMI sebagai sebuah civil society organization (CSO). Sepanjang sejarahnya, institusi ini sudah terbiasa mendampingi masyarakat yang ditimpa musibah dan bencana alam, sampai-sampai ada anekdot “di mana ada bencana, di situ ada PMI”.
”Tentu kami merasa bangga diberi kepercayaan (oleh AIHSP) dalam kegiatan yang melibatkan masyarakat ini. Selain bahwa PMI memiliki pengalaman panjang, baik di tingkat nasional maupun regional, alasan lain mereka menunjuk PMI adalah karena kami punya cabang di seluruh Indonesia. Dan yang paling utama kami memiliki kors sukarela,” ujar dr. Hartanto Hardjono, ketua Bidang Pelayanan Kesehatan dan UKTD (UpayaKesehatan Transfusi Darah) PMI Provinsi Jawa Tengah.
Korps sukarela itulah yang menjadi ujung tombak setiap kegiatan PMI. Termasuk untuk program percepatan vaksinasi ini, mereka terjun ke lapangan terutama untuk “menjemput bola” dan memobilasi warga yang harus divaksin.
“Tugas kami antara lain merayu lansia, warga dengan komorbid, dan juga disabilitas, untuk kita bawa ke sentra-sentra vaksinasi. Sebelumnya ada kepala puskesmas yang mengaku sudah keliling pakai mobil dan pengeras suara, tapi warga masih enggan. Tapi entah kenapa, ketika kami yang membujuk, mereka mulai berbondong-bondong siap divaksin. Barangkali karena mereka sudah tahu reputasi kami, yang biasa bekerja tanpa pamrih,” tutur Kepala Markas PMI Kabupaten Pati, Sugiyanto (Totok).
Diterangkan Totok, khusus untuk program percepatan vaksinasi ini, pihaknya mengerahkan sekitar 80 relawan untuk melayani 9-10 puskesmas. Sebagian ada yang berkumpul lebih dulu di markas, sebagian langsung ke lokasi, terutama relawan-relawan setempat, karena di tiap kecamatan ada minimal 10 relawan PMI.
“Setiap kali mau berangkat ke lapangan kami apel pagi dulu. Kami memotivasi teman-teman dan selalu mengingatkan bahwa kita ini bekerja untuk kemanusiaan, harus selalu melayani dengan senyum. Untuk membujuk warga supaya mau divaksin, kami juga kasih trik-triknya. Kalau perlu, pasang wajah memelas, sampai mereka mau ikutan,” tambah Totok sambil tertawa kecil.
Totok dan semua orang berompi merah yang kami jumpai memang terkesan ramah dan bersahabat. Mungkin sebab itulah mereka “lulus” menjadi relawan PMI, karena memang telah terlatih untuk menghadapi berbagai situasi dan bermacam karakter orang.
“Saya melihat masyarakat sekarang miskin perikemanusiaan. Jadi, saya memulainya dari diri sendiri. Selama masih mampu, saya ingin membantu sesam. Baru setelah itu saya mengajak kawan-kawan,” ungkap Noor Eka Fatmaningrum, seorang guru Bahasa Inggris yang sudah menjadi relawan PMI Kab. Pati sejak tahun 2013.
Relawan lain, Muhammad Supriyanto, menceritakan awal mula ia tertarik untuk terus berkomitmen dengan PMI. Pada suatu ketika ia ikut membantu penanganan korban banjir musiman di Pati. Di sana ia merasa terenyuh melihat rumah warga terendam sampai berminggu-minggu, dan mereka harus tinggal cukup lama di tempat penampungan.
“Saya dapat merasakan apa yang dirasakan oleh korban musibah. Dari situlah, dari dasar kemanusiaan itulah kita harus punya komitmen untuk ikhlas membantu sesama,” tutur pria 27 tahun yang juga berprofesi sebagai tenaga pengajar honorer di sebuah sekolah menengah pertama di daerahnya.
Seperti halnya Fatmaningrum dan Supriyanto, banyak relawan PMI yang memiliki pekerjaan atau profesi lain, seperti bidan, perawat, guru, sampai sopir truk, pekerja serabutan, dan lain-lain. Di sela-sela aktivitasnya sebagai pribadi, mereka umumnya selalu “siap siaga” manakala ada panggilan tugas dari markas. Uang tak pernah menjadi motivasi utama mereka dalam bekerja, karena tidak ada yang lebih sejati dibanding panggilan hati.
“Jika terjadi bencana di suatu tempat, awalnya banyak yang berdatangan, larut dalam hiruk pikuk perbantuan di sana. Tapi begitu fase pemulihan, semua pergi, yang ada tinggal PMI. Kami ikut membangun kembali fasilitas-fasilitas yang rusak, memperbaiki jembatan, jamban, dan lain-lain. Saya rasa itulah kelebihan kami,” tukas dr. Hartanto.