Inklusivitas Jadi Kunci Suksesnya Komunikasi Risiko pada Masa Pandemi
Dipublikasikan pada 26 April 2024
Komunikasi risiko untuk semua lapisan masyarakat menjadi krusial dalam penanganan pandemi atau krisis kesehatan. Idealnya, komunikasi risiko berjalan secara dua arah, yakni dari pemerintah dan institusi-institusi terkait selaku pembuat pesan maupun dari masyarakat selaku penerima pesan. Penelitian yang dilakukan oleh Program Kemitraan Indonesia Australia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) dan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM menunjukkan bahwa komunikasi risiko di Indonesia masih perlu ditingkatkan, khususnya untuk menjangkau kelompok rentan seperti lansia dan penyandang disabilitas.
Membahas hal ini, Katadata bekerjasama dengan Program AIHSP, Kementerian Kesehatan, didukung oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menggelar diskusi bertajuk “Kekuatan Masyarakat Hadapi Krisis Kesehatan dan Pentingnya Dialog Dalam Komunikasi Risiko Pemerintah”. Diskusi terbatas ini digelar pada Kamis 16 Juni 2022 pukul 10:00 hingga 12:00 WIB secara hybrid di mana peserta dapat bergabung secara langsung di Kantor Gubernur Jawa Tengah, maupun melalui secara daring melalui Zoom.
Hadir dalam diskusi tersebut, kepala dinas kesehatan dan kepala BPD dari Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Bali dan juga peserta perwakilan dari 13 Kabupaten dan kota. Sebagai nara sumber adalah First Secretary Health Department of Foreign Affair & Trade (DFAT) Kedutaan Besar Australia di Jakarta Prudence Borthwick, Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen dan Plt Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu. Selain itu, hadir pula Peneliti Senior Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM Shita Dewi, serta aktivis perempuan penyandang disabilitas Fatimah Asri Muthmainnah, yang kini menjabat sebagai anggota Komisi Nasional Disabilitas. Diskusi dimoderatori oleh Vivie Zabkie dari Katadata Insight Center.
Dalam diskusi tersebut, pemerintah Australia mengapresiasi respons sigap pemerintah Indonesia selama pandemi. Respons tersebut diwujudkan dalam masifnya program vaksinasi di berbagai wilayah di Indonesia, yang tidak hanya memberikan pelayanan vaksin di pusat-pusat kesehatan,tapi juga layanan vaksinasi door to door. Hal ini memungkinkan penjangkauan vaksinasi ke masyarakat yang lebih luas. “Dalam rangka program pencegahan, deteksi dini, dan respons, pemerintah Australia telah menyampaikan bantuan dalam bentuk perluasan program vaksinasi,” kata Borthwick dalam sambutannya pada Kamis, (16/6).
Borthwick juga menuturkan bahwa pemerintah Australia, lewat program AIHSP, senantiasa siap mendukung pemerintah Indonesia dalam menangani pandemi. Dukungan diberikan lewat bantuan vaksinasi, transportasi untuk peserta vaksinasi, serta kerjasama dengan institusi-institusi terkait di Indonesia. Beberapa pihak yang digandeng dalam progam AIHSP adalah Palang Merah Indonesia (PMI) dan Universitas Gajah Mada (UGM). Di Provinsi Jawa Tengah saja, kerjasama AIHSP dan PMI berhasil memperluas jangkauan vaksinasi hingga ke 2.500 lansia, 5.000 lebih perempuan dan 41 penyandang disabilitas di sembilan kabupaten sejak April 2022.
Bersama UGM, AIHSP telah melakukan penelitian tentang penerimaan vaksinasi di empat provinsi, yakni Provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Bali. Penelitian menemukan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap vaksinasi cukup tinggi. Meski demikian, penelitian juga mencatat bahwa komunikasi risiko yang lebih bersifat promotif dan dua arah masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Apresiasi juga disampaikan kepada pemerintah Jawa Tengah yang berhasil menginisiasi program Jogo Tonggo. Dalam hal kesehatan, program Jogo Tonggo terbukti sukses mempercepat proses 3T (Testing, Tracing, Treatment) COVID-19.
Sementara dalam hal ekonomi, program ini mampu menciptakan wadah untuk membantu penyediaan obat, makanan, dan kebutuhan-kebutuhan bagi masyarakat yang terdampak pandemi. “Gerakan jogo tonggo telah terbukti sukses dan menjadi pembelajaran yang baik bagi daerah lain di Indonesia dalam menghadapi krisis kesehatan,” kata Borthwick menambahkan. Plt Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu menuturkan bahwa tujuan utama dalam program AIHSP untuk meningkatkan ketahanan kesehatan Indonesia di level individu dan masyarakat. Ia menambahkan kerjasama ini dapat mendukung ketahanan nasional, regional, dan global baik dalam bidang kesehatan maupun ekonomi. Sebab, penanganan pandemi membutuhkan koordinasi yang baik di setiap level pemerintahan.
Terkait komunikasi risiko, informasi yang kredibel dapat mendorong perubahan perilaku masyarakat, termasuk kesediaan mengikuti vaksinasi, selama pandemi. Menurut Maxi, penguatan komunikasi dapat dilakukan dengan memberikan informasi secara tepat, detail, adaptif, dan sesuai dengan latar belakang masyarakat. Karena itu, pendekatan sosio-kultural menjadi penting. “Hal lain yang menjadi perhatian yaitu penerimaan dan dukungan dalam identifikasi kasus, serta konsistensi dalam melakukan perilaku pencegahan dan pengendalian,” ujar Maxi.
Adapun pemerintah di berbagai level diharapkan mampu membangun koordinasi lintas-sektor agar produk komunikasi risiko sesuai tujuan dan tepat sasaran, terutama pada saat pandemi. “Oleh karena itu peran pemerintah pusat sampai daerah sangat penting (untuk) terus menjalin koordinasi lintas sektor dengan harapan informasi yang sampai ke masyarakat tentu adalah informasi yang tepat sasaran,” ujar Maxi. Komunikasi risiko sendiri merupakan proses panjang yang berkesinambungan mulai dari sebelum krisis hingga pasca krisis. “Adaptasi dan penerjemahan komunikasi risiko menjadi nyata untuk dapat dilaksanakan sampai tingkatan masyarakat termasuk kelompok rentan, disabilitas yang membutuhkan perhatian khusus,” ujarnya.
Senada dengan Maxi, Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen menyatakan bahwa komunikasi berperan sangat penting dan perlu terus ditingkatkan. Pasalnya di era digital ini, informasi yang beredar secara cepat dan luas sangat rentan disalahartikan. Tak jarang, tuturnya, masyarakat hanya melihat suatu isu dari internet dan tanpa mengetahui fakta lapangan, hal ini membuat berita yang beredar dipersepsikan secara berbeda.
“Perlu adanya komunikasi dalam hal apapun, termasuk permasalahan yang akhir-akhir kita hadapi, yakni Covid-19. Bukan hanya di Jawa Tengah, tetapi Covid-19 ini menjadi permasalahan di seluruh dunia,” kata Taj Yasin, atau yang biasa dikenal sebagai Gus Yasin. Gus Yasin juga mengungkapkan, sejak awal memimpin Jawa Tengah, ia dan Ganjar Pranowo sangat terbuka untuk diskusi bersama masyarakat baik secara langsung maupun secara online. “Banyak masyarakat yang mengetahui nomor ponsel saya. Baik melalui SMS, telepon atau melalui aplikasi WhatsApp, masyarakat di Jawa Tengah bisa langsung melapor,” katanya.
Terkait program Jogo Tonggo, Yasin berharap hal itu dapat menjadi role model bagi pemerintahan lainnya. “Saya berharap ini (jogo tonggo) bisa diadopsi oleh pemerintahan lainnya. Karena pada prinsipnya, kebudayaan kita itu saling berkomunikasi,” kata dia. Peneliti Senior Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM Shita Dewi mengakui bahwa hadirnya pandemi mengekspos kekurangan-kekurangan dalam layanan kesehatan di Indonesia. “Itu (pandemi) menjadi semacam refleksi bagi kita, apakah sistem kesehatan kita sudah cukup kuat, cukup tangguh, untuk menghadapi krisis-krisis kesehatan,” ujar Shita. Akan tetapi, ia juga menyatakan bahwa Indonesia masih punya room for improvement atau ruang untuk berbenah. “Untuk kesiapan sumber daya manusia (SDM), kesiapan peralatan, bahkan kesiapan manajemen untuk penanganan krisis,” lanjut Shita.
Terkait komunikasi risiko, Shita mengusulkan dua hal, yakni pelibatan masyarakat dalam penyusunan pesan komunikasi risiko dan perbaikan metode penyampaian pesan. Menurut Shita, masyarakat perlu dilibatkan karena mereka penerima manfaat dari pesan komunikasi risiko. Untuk metode penyampaian, Shita mencontohkan bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki preferensi saluran informasi yang berbeda-beda. Lebih lanjut, Shita mengingatkan bahwa kegagalan komunikasi dari pemerintah akan mendorong masyarakat beralih ke berita-berita hoax. “Kami mendapati bahwa apabila masyarakat, terutama kelompok rentan, tidak mendapatkan informasi yang mereka butuhkan, mereka cenderung akan mempercayai hoax, misinformasi, (dan) disinformasi,” ujarnya.
Aktivis perempuan penyandang disabilitas Fatimah Asri Muthmainnah menuturkan bahwa pandemi menjadi pendorong masyarakat untuk berinovasi dan mencari solusi kreatif atas kesulitan yang dihadapi selama pandemi. Ia mencontohkan pembuatan masker transparan yang memungkinkan orang membaca gerak bibir yang merupakan hasil karya komunitas disabilitas tuli. Fatimah menambahkan bahwa kreativitas ini perlu mendapat dukungan pemerintah. Dalam hal komunikasi risiko, Fatimah mengapresiasi kampanye informasi yang dilakukan pemerintah baik pusat maupun daerah. Di sisi lain, ia menegaskan bahwa pemerintah harus lebih peka terhadap kebutuhan kelompok rentan, seperti kelompok disabilitas. “Karena ini menyangkut ada kebutuhan maka pertama kali yang harus diperhatikan adalah identifikasi, identifikasi dari kelompok masyarakat rentan tentang kerentanannya, tentang kebutuhannya sebelum menyedakan seperti apa sih kanal komunikasi risikonya.” ujar Fatimah.
Ia juga mengusulkan pemerintah dan semua stakeholder untuk melakukan inovasi-inovasi terkait adanya kebutuhan-kebutuhan itu tadi. “Sehingga nanti ketika mekanisme itu ada, itu adalah sistem komunikasi risiko yang mudah diakses, jelas (utuh dan mudah dipahami), kemudian menjangkau seluruh lapisan masyarakat rentan sampai ke yang paling rentan. Kemudian mendorong perubahan perilaku, kemudian itu menjadi tujuan dari komunikasi risiko,” lanjutnya.
Pada penghujung diskusi, para peserta yang hadir baik secara langsung maupun online diberikan kesempatan untuk membagikan pengalaman mereka terkait pengalaman selama pandemi. Salah satu peserta diskusi dari Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Siti Nur Hayah Isfandiari, menuturkan bahwa Yogyakarta menginisiasi program Ayo Gawe Yogya Ijo yang diklaim serupa dengan program Jogo Tonggo di Jawa Tengah. “Untuk bisa mencapai pencegahan Covid-19, perlu kerjasama pemerintah sektor dan kekuatan rakyat yang menempatkan rakyat sebagai subjek dari pemberdayaan,” terang Siti.
Ia menambahkan terdapat beberapa faktor yang berpengaruh dalam penanganan pandemi di DIY. “Kalau di DIY, faktor yang mempengaruhi adalah adanya panutan. Kemudian kita juga ada komunikasi risiko kepada masyarakat, kemudian ada edukasi untuk perubahan perilaku, dan yang penting adalah adanya sinergi dan kolaborasi,” tambahnya.
Cerita lain turut dibagikan oleh peserta diskusi bernama Anugerah dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Dalam penuturannya, Anugerah mengatakan ada kolaborasi yang baik antara masyarakat dengan jajaran birokrasi Kabupaten Bantul selama penanganan pandemi. Anugerah mencontohkan bagaimana seluruh elemen birokrasi bergerak untuk mendorong masyarakat agar bersedia divaksin. “Jadi pada saat kami (mengadakan) kegiatan vaksin, bapak Camat atas intruksi dari pemerintah daerah Kabupaten Bantul bersama-sama dengan dari Puskesmas, kemudian melibatkan juga Babinsa, Babinkamtibmas, Lurah, dan seterusnya menggerakkan masyarakat supaya mau divaksin,” ujar Anugerah.